JABAR - Kasus pembobolan dana nasabah Bank Jabar Banten (BJB) cabang Pekanbaru telah menjadi sorotan publik. Sejumlah pihak menaruh perhatian dan memberikan analisis soal konstruksi kasus yang menggemparkan jagat perbankan di Riau dan bahkan perbincangan nasional.
Ahli hukum dari Universitas Riau, Erdiansyah SH, MH menilai kasus pembobolan dan nasabah ini semestinya bisa diusut secara tuntas. Soalnya, dampak kasus ini mengakibatkan ambruknya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan yang merasa uangnya tidak aman lagi disimpan di bank. Oleh karena itu, proses hukum harus menyentuh seluruh aktor-aktor perbankan yang terlibat di dalamnya.
"Eskalasi kasus ini begitu besar. Transaksi mencapai ratusan miliar. Jadi, ini menurut saya bukan perkara kecil, namun dapat mengungkap tabir yang besar. Tentulah semua pelaku dan aktor yang terkait harus dapat mempertanggungjawabkannya di depan hukum. Bahkan unsur sebagai kejahatan korporasi bisa terpenuhi, " kata Erdiansyah dalam pembicaraan dengan RiauBisa.com, Senin (28/9/2021).
Kasus ini mendudukkan 2 orang sebagai terdakwa yakni mantan Manager Customer BJB Pekanbaru, Indra Osmer Hutahuruk dan Tarry Dwi Cahya yang merupakan teller di perbankan BUMD milik Pemprov Jabar dan Banten tersebut.
Perkara dilaporkan oleh Arif Budiman ke Polda Riau pada 2019 lalu. Dalam laporannya Arif mengaku telah kehilangan dana mencapai Rp 26 miliar dalam kurun waktu tahun 2014-2018 dari rekening giro sejumlah perusahaannya yang disimpan di BJB Pekanbaru. Namun, dalam proses penyidikan nilai kerugian yang ditetapkan penyidik Polda Riau maupun jaksa Kejati Riau hanya sebesar Rp 3, 02 miliar.
Adapun modus kejahatan perbankan ini sedikitnya dilakukan dalam dua cara. Yakni kedua terdakwa diduga melakukan pencairan dana perusahaan dengan memalsukan tanda tangan Arif dan direktur perusahaan yang dimiliki Arif. Selain itu, terdakwa Indra juga diduga melakukan pengambilan dana dari giro perusahaan Arif dan memindahkannya ke rekening kolega terdakwa. Indra diduga mengutak-atik isi rekening giro sejumlah perusahaan, tanpa persetujuan Arif dan para direktur perusahaan milik Arif. Kesaksian dan fakta persidangan telah memaparkan kasus ini secara terang benderang.
Menurut Erdiansyah, dalam kasus yang besar ini penyidikan harus diperdalam. Tidak saja hanya melibatkan dua orang terdakwa. Namun pihak-pihak yang memiliki kewenangan dan jabatan tinggi lain yang diduga ikut serta atau lalai dalam menjalankan tugas dapat diseret.
"Hasil analisis saya, orang yang bertanggung jawab tidak semata 2 orang terdakwa yang sudah disidangkan. Namun, ada sejumlah aktor lain mestinya bertanggung jawab. Bisa secara sengaja melakukan pembiaran atau kelalaian, " katanya.
Namun menurut Erdiansyah, unsur kelalaian agak diragukan. Soalnya, kasus ini terjadi dalam waktu yang panjang yakni sejak 2014-2018. Kejadiannya terjadi terus berulang-ulang dalam periode yang lama. Kata Erdiansyah, sulit untuk menyebut perkara ini semata karena kelalaian belaka. Ia menganalis kesan adanya kesengajaan dan pembiaran oleh pejabat yang memiliki otorisasi dalam perkara ini.
Menurutnya, penyidik pasti memahami dan mampu menganalisis struktur jabatan di BJB. Mulai dari posisi teller hingga kepala cabang BJB Pekanbaru. Dalam pencairan dana nasabah diduga secara ilegal tersebut, peran teller adalah posisi paling bawah. Ia menyatakan, ada sejumlah pejabat yang memiliki otorisasi dalam pencairan dan transaksi di rekening nasabah. Apalagi, nasabah yang menjadi korban adalah kelompok nasabah prioritas (premium).
"Pihak-pihak yang bertanggung jawab dan memiliki otorisasi dalam pencairan dan transaksi nasabah semestinya ikut terlibat. Bahkan, jika dilihat dari nominal transaksi, maka kepala cabang nya pun ikut bertanggung jawab. Bagaimana pengawasan yang dilakukannya. Ini namanya tanggung jawab renteng. Kasus ini bisa disebut sistemik, " kata Erdiansyah yang baru dilantik menjadi Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Riau ini.
Penelusuran RiauBisa.com, saat kasus ini terjadi (2014-2018), Kepala Cabang BJB Pekanbaru dijabat oleh Irwan Triherda Permana. Selanjutnya setelah kasus mulai heboh, Irwan digantikan oleh Rahmat Abadi. Kini Rahmat pun telah dimutasi ke Jawa Barat.
Ia memastikan, perbankan sekelas BJB pasti memiliki prosedur yang detil. Uraian tugas para pegawai dari level bawah sampai atas tergambar dengan jelas. Maka, kata Erdiansyah penyidikan dapat diarahkan pada analisis tugas dan tanggung jawab pejabat bank yang berkaitan dengan pembobolan dana nasabah tersebut.
"Saya kira sangat jelas tupoksi dari masing-masing pegawai bank. Itu mestinya ditarik dalam persoalan ini. Nanti pasti akan ketemu benang merahnya, " kata Erdiansyah.
Bahkan kata Erdiansyah, unsur dugaan kejahatan korporasi perbankan dapat saja terpenuhi. Syaratnya penyidikan harus dilakukan secara detil dan fokus untuk mengungkap kasus ini sebenar-benarnya. Ia menyatakan, direksi BJB tidak bisa lepas tangan dari kasus ini meski berada di kantor pusat Kota Bandung, Jawa Barat.
Erdiansyah juga menganalisis kasus kejahatan perbankan ini berlangsung secara sistemik. Artinya ada dugaan keterlibatan aktor-aktor di dalam bank sehingga kasus ini berlangsung lama. Dalam hal ini, kata Erdiansyah tanggung jawab korporasi yang diwakili oleh direksi dapat diikutsertakan.
"Direksi semestinya ikut bertanggung jawab. Karena ini dapat masuk dalam ketegori kejahatan korporasi perbankan, " tegasnya.
Bungkam ke Wartawan
Sejumlah pejabat Bank Jabar Banten (BJB) pusat dan BJB cabang Pekanbaru tutup mulut usai bersaksi di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (27/9/2021). Mereka tak ingin memberi komentar atas tudingan pelanggaran prosedur perbankan yang menyebabkan terjadinya kejahatan perbankan (fraud) di BJB cabang Pekanbaru.
Seyogianya, 5 orang pejabat dan pegawai BJB diperiksa dalam persidangan siang kemarin. Namun, majelis hakim yang diketuai Dr Dahlan SH, MH meminta agar pemeriksaan saksi dilakukan hanya untuk satu orang yakni Asep Dikdik. Asep adalah pejabat senior auditor pada SKAI BJB Pusat yang pernah memeriksa secara internal kasus ini.
Baca juga:
Tony Rosyid: HRS Diborgol, Lalu?
|
Selain Asep, manager operasional BJP Pekanbaru, Sonny Budi Hariadi, mantan Kepala Cabang BJB Pekanbaru, Rahmat Abadi, senior official Sri Nola dan seorang pegawai bernama Rahmat Donika harusnya diperiksa siang tadi namun dijadwalkan ulang pada persidangan selanjutnya. Nama mantan Kepala Cabang BJB Pekanbaru (2014-2018) saat kasus ini terjadi, Irwan Triherda Permana diduga tidak dijadikan saksi.
Kelima pejabat dan pegawai BJB tersebut dikonfirmasi soal praktik pencairan yang merugikan nasabah bernama Arif Budiman dengan modus dugaan pemalsuan tanda tangan nasabah. Namun, kelimanya menolak memberikan pernyataan. Mereka hanya diam saja. Termasuk ketika ditanya soal tudingan terhadap BJB yang dinilai menutup-nutupi pemeriksaan kasus ini.
"Hubungi kantor pusat saja di Bandung, " celetuk salah seorang pendamping pegawai BJB yang tidak diketahui namanya.
Pejabat Auditor Akui Pegawai Langgar SOP
Pejabat senior auditor Bank Jabar Banten (BJB) Pusat, Asep Dikdik mengakui kalau pegawainya di BJB cabang Pekanbaru tidak menjalankan tugas dengan benar. Asep menyebut sejumlah anak buahnya telah melanggar prosedur baku dalam pencairan cek nasabah.
"Itu memang pelanggaran SOP dan ketentuan, Yang Mulia. Seharusnya tidak boleh demikian, " kata Asep Didik saat memberikan keterangan dalam persidangan kasus pembobolan dana nasabah di PN Pekanbaru, Senin (27/9/2021).
Asep dimintai keterangan karena sebelumnya ia yang merupakan senior auditor di Satuan Kerja Audit Intern (SKAI) BJB Pusat telah melakukan pemeriksaan dalam kasus yang menghebohkan jagad perbankan ini.
Dalam persidangan, majelis hakim menanyakan kepada Asep soal prosedur pencairan cek atas nama Arif dan sejumlah perusahaan Arif.
Asep mengakui bahwa ada cek yang dicairkan oleh Tarry dan sejumlah atasan Tarry diduga tanpa persetujuan dan konfirmasi dari Arif. Tangan tangan Arif dan sejumlah direktur perusahaannya diduga dipalsukan.
Dua orang atasan Tarry pun terseret. Keduanya adalah Sri Nola yang merupakan senior official dan Soni yang merupakan manajer operasional. Seharusnya kata Asep, Sri Nola dan Soni memiliki otoritasi dan bertanggung jawab melakukan pemeriksaaan terkait pengajuan cek dari nasabah. Namun hal tersebut diduga tidak dilakukan oleh keduanya.
"Alasan mereka saat itu karena sudah biasa kalau dengan Bang Arif dan Indra Osmer (terdakwa) begitu. Nah, ini tak seharusnya terjadi, " kata Asep.
Audit BJB Tak Tuntas
Dalam persidangan sebelumnya, hakim mempertanyakan tentang tahapan pencairan cek sesuai dengan SOP. Antara lain soal apakah seorang teller bisa mencairkan sendiri cek, tanpa persetujuan atasan.
"Jadi teller bisa mencairkan langsung cek yang diajukan?" tanya hakim Dahlan.
Asep lantas menyatakan pencairan cek harus melapor kepada manajer operasional Soni dan official operasional Sri Nola.
Hakim Dahlan pun mempertanyakan apakah cek yang dijadikan bukti dalam persidangan itu sebelum dicairkan sudah diperiksa oleh Soni dan Sri Nola. Asep hanya menjawab kalau Sri Nola tidak menjalankan pekerjaan dengan baik. Jawaban Asep ini membuat tensi hakim Dahlan makin tinggi.
"Saudara tolong kasih penjelasan yang sejelas-jelasnya. Jangan jawaban mengambang seperti ini. Kalau seperti ini menunjukkan ada yang kalian sembunyikan. Kasih jawaban yang terang dan jelas ya, Saudara saksi, " kata hakim Dahlan mengingatkan Asep.
Ketika diingatkan berulang kali oleh hakim Dahlan, barulah saksi Asep menyatakan kalau official operasional dan teller harus melakukan pengecekan ulang dan konfirmasi kepada nasabah yang akan mencairkan ceknya.
"Tapi itu tidak dilakukan mereka, Yang Mulia, " kata Asep.
Dalam sesi selanjutnya, hakim Dahlan pun sempat meradang dengan keterangan terkesan berbelit yang disampaikan Asep. Saat hakim Dahlan bertanya mengapa cek yang tidak dikonfirmasi ke nasabah namun dapat dicairkan, Asep terkesan menghindar. Ia menyatakan kalau pertanyaan itu hanya bisa dijelaskan kepada Tarry dan Sri Nola.
"Kok audit kalian tanggung, terputus. Kalian salah nih SKAI BJB, harusnya audit itu tuntas, " kata hakim hakim Dahlan sambil geleng-geleng kepala.
CCTV Rusak Saat Pencairan Cek
Dalam persidangan sebelumnya, Selasa pekan lalu, hakim Dahlan mempertanyakan soal rekaman CCTV di ruangan layanan pencairan cek tersebut. Menurut Asep, auditor dari Satuan Kerja Audit Internet (SKAI) BJB Pusat yang diperiksa hakim, saat itu CCTV sedang rusak.
Asep juga menyatakan kalau Kantor Cabang BJB Pekanbaru tidak memiliki rekaman back data CCTV, sehingga aktivitas kegiatan di ruangan tersebut tidak bisa diputar ulang.
"Saat itu CCTV rusak, Yang Mulia. Petugas kami menyatakan CCTV rusak, " kata Asep.
Hakim Dahlan pun kaget. Ia curiga ada hal yang sengaja ditutupi oleh pihak manajemen.
"Kok BJB perbankan yang sebesar itu tak punya back up data. Kok aneh ya. Apa semua kantor BJB seperti itu tak punya back up data?, " kata hakim Dahlan.
Hakim Dahlan pun menyatakan aneh jika seandainya ada kegiatan kejahatan yang tidak terpantau oleh bank ketika CCTV rusak dan back up data tak ada.
"Jadi kalau ada perampok, bagaimana itu? Gimana polisi bisa mengungkap?, " tanya hakim Dahlan lagi.
Menurut hakim Dahlan, rekaman CCTV dibutuhkan untuk dapat mengetahui siapa orang yang mencairkan cek yang diajukan oleh perusahaan milik Arif. Soalnya, Arif mengaku tidak melakukan pencairan.
Tanda Tangan Nasabah Diduga Dipalsukan
Sejumlah direktur perusahaan dikelola Arif yang membuka rekening giro di Bank Jabar Banten (BJB) cabang Pekanbaru mengaku tanda tangannya dipalsukan dalam pencairan cek perusahaan. Yang lebih aneh, cek dicairkan petugas bank tanpa ada konfirmasi dari direktur perusahaan.
"Itu bukan tanda tangan saya, Yang Mulia. Saya juga tidak ada dihubungi pihak bank saat pencairan cek tersebut, " kata Direktur CV Fiat Motor, Muhamad Zakir saat memberikan keterangan dalam persidangan kasus pembobolan dana nasabah BJB di PN Pekanbaru, Senin (20/9/2021).
Dua direktur perusahaan lainnya yakni Direktur CV Putra Bungsu, Dedi Jauhari dan Direktur CV Riski Pratama juga mengaku kalau tanda tangan mereka diduga dipalsukan dalam pencairan cek perusahaan.
Desak PPATK Turun Tangan
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) diminta untuk mengambil tindakan dan pemeriksaan terkait kasus dugaan pembobolan dana nasabah Bank Jabar Banten (BJB) cabang Pekanbaru. Kasus yang sudah bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru ini terus memunculkan fakta persidangan dugaan malpraktik perbankan yang menyebabkan kerugian besar nasabah.
Arif Budiman, nasabah BJB cabang Pekanbaru yang menjadi korban menyatakan dibutuhkan audit independen yang kredibel dan tuntas dalam kasus yang menerpanya. Menurutnya, kejadian yang sama dapat saja terjadi pada nasabah lain. Arif mengaku mengalami kerugian mencapai Rp 28 miliar.
Ia menyatakan proses audit yang dilakukan BJB pusat tidak transparan, tuntas dan kredibel. BJB menutup dokumen audit dan tidak melakukan pemeriksaan secara detil.
"Pihak BJB menutupi proses audit. Banyak dokumen dan transaksi yang tidak dibuka, " kata Arif, Selasa (21/9/2021).
Oleh karena itu, ia meminta agar PPATK mengambil tindakan untuk menganalisis transaksi mencurigakan pada rekening sejumlah perusahaan miliknya yang diduga dibobol oleh petugas BJB cabang Pekanbaru.
Oleh karena itu, ia meminta agar PPATK mengambil tindakan untuk menganalisis transaksi mencurigakan pada rekening sejumlah perusahaan miliknya yang diduga dibobol oleh petugas BJB cabang Pekanbaru.
"PPATK sesuai tupoksinya dapat melakukan analisis dan pemeriksanaan laporan transaksi keuangan yang berindikasi pidana, " pungkas Arif. ( FERI )