BOGOR - RSUD Leuwiliang tangani salah satu Pasen yang menderita flek Paru - TBC basah serta kurangnya masukan Nutrisi yang mengakibatkan berat badannya hanya 7, 5 kg. Pasien rujukan dari wilayah Puskesmas Sukajaya kecamatan sukajaya Kabupaten Bogor masuk ke ruang Unit Gawat Darurat ( UGD ) RSUD Leuwiliang pada tànggal 31 Maret silam
Pasien itu bernama Oji seorang anak berusia 6 tahun ini, di rawat selama 7 hari dengan penanganam Medis yang ekstra oleh Tim RSUD Leuwiliang. saat ini Oji sudah berada dikediamnya dengan catatan tetap dalam pengawasan Pihak Kesehatan. Pada 6 April 2021.
Dokter Agus Fauzi menerangkan Pasien bernama Oji di ruang UGD rujukan dari Puskesmas Sukajaya menderita penyakit komplikasi antara Flek Paru Basah, gangguan sarap di kepalanya dan kekurangan masukan nutrisi yang baik.
" faktor itu bisa terjadi karena kurangnya asupan gizi yang baik, disamping itu bisa juga karena faktor kurangnya menjaga kesehatan lingkungan keluarga dan bisa juga karena faktor ekonomi" Imbuhnya
Persoalan gizi buruk mendapat perhatian dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor. Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bogor Dede mengatakan, penderita gizi buruk memiliki masalah kesehatan yang kompleks. Mulai dari soal nutrisi, penyakit penyerta, masalah sosial, masalah ekonomi, budaya masyarakat/kebiasaan dan faktor lingkungan tempat tinggal. “Semua itu bisa berpengaruh sehingga intervensi penanganannya harus komprehensif dan lintas sectoral, ” ungkap Dede yang dilansir dari situs Ade yasin.net pada 9 Maret 2020 silam.
Ia menjelaskan penanganan gizi buruk dan stunting ada dua tahapan. Pertama penanganan secara spesifik artinya pendekatan dengan pelayanan kesehatan, teknis kesehatan.
“Cara ini menyumbangkan hanya 30 persen saja angka keberhasilan menurut hasil riset penanggulangan masalah gizi buruk, “ tuturnya.
Sedangkan sisanya 70 persen, lanjut Dede, ada masalah sensitif atau tahapan kedua yaitu penanggulangan dari berbagai sektor.
“Kebanyakan penderita gizi buruk juga selain kurangnya asupan nutrisi juga ada faktor penyerta atau penyakit bawaan yang menyebabkan seorang anak terkena gizi buruk. Contoh diare, gangguan jantung, gangguan mental dan lain sebagainya, ” paparnya.
Untuk itu, Dinkes mulai tanggap untuk mengurangi kasus gizi buruk. Salah satunya dengan membentuk Center Klinik Gizi di tiap puskesmas.
“Di puskesmas itu ada timnya (dokter, perawat, bidan dan petugas gizi). Mereka bertugas melakukan analisis gizi dan identifikasi sehingga intervensinya lebih intens lagi dalam menanggulangi gizi buruk, ” tuturnya.
Dede menekankan bahwa faktor terbesar itu masalah sosial ekonomi dalam permasalahan gizi buruk itu. Begitu pula dengan stunting. Menurutnya, stunting dan gizi buruk itu berbeda.
“Kalau stunting itu lambat tumbuh. Kaitannya dengan panjang badan/tinggi badan terhadap umur, yang menyebabkan tinggi badan anak tidak sesuai dengan masa umur anak akibat kurangnya asupan protein yang kronik, ” paparnya. ( FERI/Sep Hurung)